Para
ulama sepakat (kecuali segelintir orang saja) bahwa menutup aurat adalah
syarat sahnya shalat menurut kemampuan. Hal ini didasarkan pada
beberapa dalil berikut ini:
1. Firman Allah Ta’ala: “
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
Maksudnya:
tutuplah aurat kalian ketika hendak melaksanakan shalat. Karena mereka
(kaum jahiliyah) melaksanakan thawaf di Baitullah dengan telanjang lalu
turulah ayat ini, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim.
2. Hadits Salamah bin al-Akwa’ yang bertanya kepada Nabi shallallau 'alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, ketika kami sedang berburu, apakah salah seorang
kami dibolehkan shalat dengan satu kain?” Beliau menjawab, “Boleh, dan
bersarunglah dengannya, walau ia hanya bisa mejahitnya dengan duri.”
(HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i. Dihassankan oleh al-Nawawi dalam Majmu’nya
dan Al-Albani dalam al-Misykah no. 760)
3. Hadits Jabir yang mengisahkan shalatnya di samping Nabi shallallau 'alaihi wa sallam
yang sambil berselimut sepotong kain. Beliau bersabda, “Apabila kainmu
lebar, maka berselimutlah dengannya. Dan jika sempit, maka bersarunglah
dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berbarti
tidak sah shalat dengan memakai sesuatu yang lebih sempit dari kain dan
dijadikan sarung (menutup bagian bawah tubuh). Ini menunjukkan bahwa
wajib menutup aurat dalam shalat. Sebaliknya, membuka aurat dilarang
yang menyebabkan batalnya shalat. Dengan demikian, menurut mayoritas
ulama, dalam hadits ini terkandung makna syarat sahnya shalat, yaitu
menutup aurat.
4. Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan
adanya ijma’ tentang tidak sahnya orang shalat tanpa busana, padahal ia
mampu menutup auratnya. Demikian pula Ibnu Taimiyah rahimahullah menukilnya.
5. Menutup aurat ketika berdiri shalat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala
adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. (Lihat: Al-Bada’i:
1/116, al-Dasuqi: 1/211, Mughni al-Muhtaj: 1/184, dan Kasyaf al-Qana’:
1/263)
Aurat Shalat Laki-laki
Yang
perlu diketahui bahwa pembahasan aurat dalam shalat berbeda dengan aurat
yang tidak boleh dilihat orang. Sedangkan istilah menutup aurat yang
ditetapkan Fuqaha’ sebagai syarat sahnya shalat tidak berasal dari lisan
Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam. Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak menyebutkan bahwa apa yang ditutup oleh orang yang sedang shalat adalah aurat. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya menyebutkan:
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِد
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
Aurat
yang tidak boleh dilihat adalah kaitannya dengan syahwat. Sementara
perintah mengenakan pakaian dalam shalat adalah berkaitan dengan hak
Allah Subhanahu wa Ta'ala yang harus dipenuhi. Maka siapapun
tidak boleh mengerjakan thawaf di Ka’bah dan shalat tanpa menutup aurat,
walaupun ia sendirian. Dari sini dapat disimpulkan, mengenakan pakaian
dalam shalat bukan karena untuk menutup aurat dari pandangan manusia.
Sebab keduanya memiliki jenis hukum yang berbeda.
Karena
itu, ketika shalat terkadang seseorang harus menutup anggota badannya
yang boleh ditampakkan di luar shalat seperti kepada istri atau anaknya.
Dan terkadang ada anggota badan yang boleh ditampakkan ketika shalat,
namun tidak boleh ditampakkan di luar shalat. Contohnya seperti pendapat
mereka yang mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan bagi wanita
dari pandangan laki-laki asing, namun tidak wajib menutupnya dalam
shalat.
Menurut
jumhur ulama bahwa aurat seorang laki-laki di dalam shalat adalah antara
pusar dan lutut. Sedangkan madhab Zahiriyah berpendapat, aurat
laki-laki dalam shalat hanya qubul dan dubur saja. Namun pendapat
Zahiriyah ini adalah pendapat yang tidak kuat.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Dan adapun shalatnya seorang laki-laki dengan membuka paha padahal ia
mampu menutupnya dengan kain, maka ini tidak boleh. Dan tidak seyogyanya
ada khilaf dalam hal itu.”
Pendapat Jumhur didukung oleh beberapa hadits, antara lain: Sabda Nabi shallallau 'alaihi wa sallam, “Antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Abu Dawud dan dihassankan Syaikh Al-Albani dalam al-Irwa’: 1/226)
Juga hadits Jurhud, bahwa saat Nabi shallallau 'alaihi wa sallam
melewatinya dan kain yang menutupi pahanya tersingkap. Kemudian beliau
bersabda: “Tutupilah ia (pahamu), sesungguhnya ia adalah aurat.” (HR.
Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam
shahihnya).
Hadits ini memiliki penguat dari hadits-hadits lain, seperti hadits Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam
bersabda kepadanya: “Jangan engkau singkap pahamu dan jangan pula
melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim. Walaupun hadits ini dhaif, namun layak
sebagai penguat dari hadits Jurhud di atas).
Dari Muhammad bin Jahsy, ia berkata: Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam melewati
Ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap. Beliau bersabda: “Wahai
Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat.” (HR. Ahmad, Hakim, dan lainnya. Imam al-Thahawi menyatakannya sebagai hadits shahih)
Namun,
hadits-hadits di atas menerangkan aurat dari pandangan manusia.
Sementara aurat dalam shalat terdapat beberapa hadits yang
menjelaskannya:
1. Diriwayatkan dari Buraidah, ia mengatakan: “Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam
melarang seseorang shalat dengan selimut tanpa menyelempangkannya di
atas pundak dan melarang shalat hanya memakai celana tanpa mengenakan
selendang (kain yang menutupi pundaknya).” Hadits ini menunjukkan
wajibnya menutup badan bagian atas saat mengerjakan shalat.
2. Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam pernah melarang seseorang shalat dengan hanya mengenakan sehelai kain yang tidak menutupi pundaknya sedikitpun.
Dari
hadits yang dijadikan sandaran Jumhur dan ditambah kedua hadits di atas
menunjukkan, seorang laki-laki diperintahkan menutup aurat dalam
shalatnya yang meliputi: pahala dan lainnya hingga pundak. Walaupun ia
shalat sendirian di dalam rumah dan tidak ada seorang pun yang
melihatnya, ia tetap wajib menutup auratnya.
Kesimpulan
Seorang
laki-laki diperintahkan untuk menutup kedua pundaknya hingga kedua
lututnya dalam shalat. Kecuali jika ia tidak memiliki pakaian kecuali
sehelai kain yang sempit, maka ia bersarung dengan memakai kain tersebut
yang menutup antara lutut dan pusarnya; dan membiarkan bagian atasnya
terbuka sebagaimana dalam hadits Jabir yang terdapat dalam Shahihain.
Karena
itu, teman Saudara Uki yang shalat dengan hanya memakai kaos dalam
(singlet) maka sudah memenuhi syarat menutup aurat (memakai pakaian)
dalam shalat. Sehingga tidak perlu diingkari berlebih dan tidak boleh
divonis tidak sah.
Namun,
selayaknya orang yang shalat merasa menghadap Allah, Tuhan pencipta
langit dan bumi yang telah menciptakan dirinya dan memberikan rizki
kepadanya. Karena itu ia hendaknya memakai pakaian yang pantas dan
layak.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
dalam menafsirkan QS. Al-A’raf: 31 berkata, “Berdasarkan ayat ini dan
juga pengertian (yang menunjukkan) hal itu di dalam sunnah, bahwa
dianjurkan untuk berhias diri ketika hendak melaksanakan shalat,
lebih-lebih pada waktu shalat Jum’at dan hari raya. Serta disunnahkan
memakai wewangian karena dia termasuk (perhiasan), siwak (juga termasuk)
karena termasuk sebagai penyempurna. Dan di antara pakaian yang paling
utama adalah yang berwarna putih.” Wallahu Ta’ala a’lam.
[PurWD/voa-islam.com]
trimasih ilmunya semoga manfaat
BalasHapusJazakumullah
BalasHapusThe Evolution Gaming App to Make Big Time Gaming App
BalasHapusA new 여주 출장마사지 casino app from 충청북도 출장안마 Evolution 광주 출장안마 Gaming (evolution) was launched in the United 영천 출장샵 States in the early spring of 2020. Read on to learn more about the free 여주 출장샵