PENGANTAR
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh
syari’at merupakan sikap ekstrim, dan akan selalu memicu persoalan,
yang ujung-ujungnya ialah tertumpahnya darah kaum muslimin secara
semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).
Makalah berikut ini diterjemahkan dari sebuah booklet yang
dikeluarkan oleh Markaz Al Imam Al Albani, Yordania, tentang Bayan
Hai’ah Kibar Al Ulama Fi Dzammi Al Ghuluwwi Fi At Takfir (Penjelasan
Lembaga Perkumpulan Ulama Besar Saudi Arabia tentang celaan terhadap
sikap ghuluw –ekstrim- dalam mengkafirkan orang lain).
Lembaga ini diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
rahimahullah. Kemudian penjelasan Lembaga tersebut disajikan ulang dan
diberi catatan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al
Halabi Al Atsari. Selamat menyimak.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام أشرف المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين، ولا عدوان إلا على الظالمين، أما بعد :
Berikut ini adalah sebuah penjelasan ilmiah yang akurat. Di dalamnya
terdapat kupasan yang jeli dan teliti. Mengukuhkan masalah yang teramat
penting, bermanfaat bagi sekalian umat dan dapat menolak fitnah yang
gelap gulita.
(Atas dasar itu), saya memandang perlu dan penting untuk menyebar
luaskannya, sebagai nasihat dan sebagai amanat. Hal itu disebabkan oleh
dua alasan:
Pertama : Karena banyak orang yang tidak mengetahuinya dan tidak
memahaminya. Sedangkan yang mengetahuinya, tidak mau menyebar
luaskannya, [1] dan enggan menunjukkannya –kecuali yang mendapat rahmat
Allah-.
Kedua : (Juga) karena di dalam penjelasan itu terdapat (usaha
telaah) untuk membongkar rahasia keadaan sebagian orang ghuluw yang
ekstrim. Yaitu orang-orang yang karena kebodohannya telah membuat citra
agama menjadi buruk, dan karena penyimpangannya telah merusak kaum
muslimin secara umum.
Padahal Islam –alhamdulillah- jauh lebih tinggi dan lebih agung. Islam lebih memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kebenaran.
Hanya kepada Allah aku memohon, agar Dia menjadikan penjelasan [2]
ini bermanfaat bagi orang-orang pada umumnya, maupun secara khusus bagi
orang-orang tertentu. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ
Takutlah kamu akan suatu fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu [Al Anfal : 25].
Akhir do’a kami ialah, Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
(Demikian pengantar dari Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, Red.).
PENJELASAN HAI’AH KIBAR AL ULAMA
Lembaga Perkumpulan Tokoh-tokoh Ulama Saudi Arabia [3]
الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اهتدى بهداه. أما بعد:
Sesungguhnya Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama, pada pertemuannya yang
ke-49 di Thaif, yang dimulai pada tanggal 2/4/1419 H [4] telah mengkaji
apa yang kini berlangsung di banyak negeri Islam dan negeri-negeri
lain, tentang takfir (penetapan hukum kafir terhadap seseorang) dan
tafjir (peledakan) serta konsekwensi yang diakibatkannya, berupa
penumpahan darah dan perusakan fasilitas-fasilitas umum.
Karena berbahayanya persoalan ini, begitu pula akibat yang
ditimbulkannya, berupa melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak
bersalah, perusakan harta benda yang mestinya terpelihara, menimbulkan
rasa takut bagi banyak orang dan menimbulkan keresahan bagi keamanan
serta ketenteraman orang banyak, maka majelis Hai’ah memandang perlu
untuk menerbitkan penjelasan ini, guna menerangkan hukum sebenarnya
dari persoalan tersebut. Sebagai nasihat bagi Allah, bagi
hamba-hambaNya dan sebagai pelepas tanggung jawab di hadapan Allah,
serta sebagai upaya menghilangkan kerancuan pemahaman di kalangan
orang-orang yang kacau pemahamannya.
Maka dengan –taufiq Allah- kami katakan:
PERTAMA
Takfir (menetapkan hukum kafir atau mengkafirkan) merupakan hukum
syar’i. Tempat kembalinya adalah Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, kembalinya
kepada Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu pula
penetapan hukum kafir.
Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur, berarti kufur akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. [5]
Karena sumber penetapan hukum pengkafiran kembalinya kepada Allah
dan RasulNya, maka kita tidak boleh mengkafirkan seseorang, kecuali
jika Al Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti
yang jelas. Maka (mengkafirkan orang) tidak cukup hanya berdasarkan
syubhat dan dugaan-dugaan saja, sebab akan berakibat pada konsekwensi
hukum-hukum yang berbahaya.
Apabila hukum hudud (pidana) saja dapat terhapus dengan adanya
syubhat (ketidak jelasan bukti) -padahal konsekwensinya lebih ringan
daripada takfir-, apalagi masalah pengkafiran orang, tentu lebih dapat
terhapuskan lagi dengan adanya syubhat (ketidak jelasan bukti).
Itulah sebabnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan
umatnya agar jangan sampai menghukumi kafir kepada seseorang yang tidak
kafir. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أَيمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا. إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإلا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya “Hai Kafir”,
maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika
perkataannya benar, (maka benar). Tetapi jika tidak, maka tuduhan itu
akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya. [Muttafaq ‘alaih,
dari Ibnu Umar].
Kadang di dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat nash yang dapat
difahami darinya, bahwa perkataan ini, perbuatan itu atau keyakinan itu
adalah kufur, tetapi orang yang melakukannya tidak kafir, disebabkan
adanya penghalang yang menghalangi kekafirannya.
Hukum pengkafiran ini, sama seperti hukum-hukum lainnya. Yaitu tidak
akan terjadi, kecuali jika sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada [6]
dan penghalang-penghalangnya tidak ada. Umpamanya dalam masalah waris.
Sebabnya (misalnya) adalah adanya hubungan kerabat. Kadang-kadang
seseorang (yang mempunyai hubungan kerabat) tidak bisa mewarisi
disebabkan oleh adanya penghalang, yaitu perbedaan agama. Begitu pula
masalah kekafiran. Seorang mukmin dipaksa melakukan perbuatan kufur
–misalnya-, maka ia tidak kafir karenanya.
Kadang seorang muslim mengucapkan kalimat kufur disebabkan oleh
kesalahan lidah karena sangat gembiranya, atau sangat marahnya atau
karena sebab-sebab lainnya. Iapun tidak kafir karenanya. Sebab ia tidak
sengaja mengucapkannya. Seperti kisah orang yang mengatakan : “Ya
Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu”. (Dia tidak kafir,
Red). Dia salah mengucapkan kalimat itu karena sangat gembiranya
(menemukan kembali ontanya yang hilang ditengah kesendiriannya, Red).
[7] [Hadits shahih Riwayat Muslim, dari sahabat Anas bin Malik]
Tergesa-gesa menghukumi kafir terhadap seseorang akan mengakibatkan
banyak perkara yang berbahaya. Di antaranya menghalalkan darah dan
harta Muslim, dilarangannya saling mewarisi, pembatalan pernikahan dan
lain-lainnya yang merupakan konsekwensi hukum orang murtad.
Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin boleh lancang menetapkan hukum
kafir hanya berdasarkan syubhat yang sangat sederhana sekalipun?
Dan apabila ternyata (tuduhan kafir, Red) ini ditujukan kepada para
penguasa [8] maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Sebab akibatnya
akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata
melawan mereka, menebarkan issu kekacauan, mengalirkan darah dan
membuat kerusakan terhadap manusia dan negara.
Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penentangan kepada penguasa. Beliau bersabda :
...إلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
……kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata (bawaah), yang
tentanginya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah. [Muttafaq
‘alaih, dari ‘Ubadah].
• Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : إلا أَنْ تَرَوْا
(kecuali jika kalian lihat), memberikan pengertian bahwa tidak cukup
(pengkafiran, Red) hanya berdasarkan dugaan dan issu.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : كُفْرًا (kekafiran),
memberikan pengertian bahwa tidak cukup (penentangan terhadap penguasa,
Red) hanya karena fasiknya penguasa, walaupun kefasikannya besar
seperti zhalim, meminum khamr, berjudi dan dominan berbuat perkara
haram.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : بَوَاحًا (nyata),
memberikan pengertian bahwa tidaklah cukup kekafiran yang tidak nyata.
Arti bawaah ialah jelas dan nyata.
• Sabda beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam : عِنْدَكُمْ فِيْهِ
مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ (kalian memiliki bukti jelas mengenai kekafiran
yang nyata itu dari Allah). Ini memberikan pengertian bahwa pengkafiran
harus berdasarkan dalil yang sharih (jelas dan terang). Dalil itu harus
shahih adanya dan sharih (jelas dan terang) pembuktiannya. Sehingga
tidak cukup bila dalil itu lemah sanadnya atau tidak tegas
pembuktiannya.
• Kemudian sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : مِنَ اللهِ
(dari Allah), memberikan pengertian bahwa perkataan ulama manapun
(dalam pengkafiran, Red) tidak bisa dianggap, meski betapapun tinggi
ilmu dan sikap amanahnya, apabila perkataannya tidak berdasarkan dalil
yang sharih (nyata dan terang) pembuktiannya dan shahih berasal dari
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ikatan-ikatan syarat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
(dalam hadits) di atas menunjukkan betapa gentingnya permasalahan
takfir (pengkafiran terhadap seseorang).
Kesimpulannya, tergesa-gesa menghukumi seseorang sebagai kafir
mempunyai bahaya yang besar. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا
وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا
بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ
مَالاَتَعْلَمُونَ
Katakanlah : Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak atau yang tersembunyi, dan (mengharamkan)
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (juga
mengharamkan kalian) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (juga mengharamkan) kalian
mengadakan-adakan perkataan terhadap Allah apa yang kalian tidak
ketahui. [Al A’raf : 32].
KEDUA:
Apa yang timbul dari keyakinan salah ini? Yaitu menghalalkan darah,
perusakan kehormatan, perampasan harta milik orang-orang tertentu atau
orang umum, peledakan tempat-tempat hunian serta angkutan-angkutan umum
dan perusakan bangunan-bangunan.
Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut
syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sebab di
dalamnya terdapat perusakan terhadap kehormatan jiwa-jiwa manusia yang
terpelihara, perusakan terhadap kehormatan harta benda, perusakan
terhadap kehormatan keamanan dan ketenteraman. (Perusakan terhadap) hak
hidup orang banyak secara aman dan tenteram di rumah-rumah mereka, di
tempat-tempat mata pencaharian mereka, di saat keberangkatan mereka
pada pagi hari dan di saat kepulangan mereka pada sore hari. Juga
perusakan terhadap kepentingan-kepentingan umum yang selalu dibutuhkan
oleh orang banyak dalam kehidupan mereka.
Padahal Islam telah memberikan pemeliharaan kepada kaum muslimin
berkaitan dengan harta benda, kehormatan dan jiwa raga mereka. Islam
mengharamkan perusakan terhadap semua ini dan sangat menekankan
pengharamannya.
Bahkan di antara hal terakhir yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada umatnya ialah sabda beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam pada haji wada’ :
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَاَلكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta benda kalian dan
kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti haram
(mulia)nya hari kalian (hari haji wada’) ini, di bulan kalian ini dan
di negeri (tanah haram) kalian ini.
ِAkhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup sabdanya :
ألاَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اَللَّهُمَّ فَاشْهَدْ
Ketahuilah, adakah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah. [Muttafaq ‘alaih, dari Abi Bakrah].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ، وَمَالُهُ ، وَعِرْضُهُ
Setiap muslim bagi muslim lainnya adalah haram : darahnya, hartanya dan kehormatannya. [HR Muslim, dari Abu Hurairah].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula :
اِتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Takutlah kalian akan kezhaliman, sesungguhnya kezhaliman itu adalah
kegelapan-kegelapan pada hari kiamat. [HR Muslim, dari Jabir].
Sesungguhnya Allah telah memberikan ancaman sangat keras terhadap orang yang membunuh seseorang yang terpelihara jiwanya.
Berkenaan dengan jiwa seorang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ
عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.
[An Nisa’ : 93].
Kemudian berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan
keamanan kaum muslimin, jika dibunuh secara tidak sengaja, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقُُ فَدِيَةُُ
مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللهِ
وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat (ganti rugi) yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa
yang tidak memiliki hamba sahaya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [An Nisa’:92].
Apabila orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dari kaum
muslimin dibunuh secara tidak sengaja saja harus ada pembayaran diat
(ganti rugi) dan memerdekakan hamba sahaya oleh si pembunuh, maka
apalagi jika ia dibunuh secara sengaja. Jelas kejahatannya lebih berat
dan dosanya lebih besar.
Dan sesungguhnyalah terdapat riwayat shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :
مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا : لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian
(damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga. [Muttafaq ‘alaih,
dari Abdullah bin Amr].
KETIGA:
Sesungguhnya jika sebuah majelis menyatakan ketetapan hukum kafir
terhadap manusia –tanpa bukti dari Kitab Allah dan Sunnah Rasululah
Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tanpa menyebutkan bahayanya
penyebutan hukum itu karena mengandung akibat buruk dan dosa, berarti
majelis tersebut tengah mengumumkan kepada dunia, bahwa Islam berlepas
diri dari keyakinan yang salah ini. Begitu pula apa yang tengah
berlangsung di berbagai negeri berupa penumpahan darah orang yang tidak
bersalah, peledakan tempat-tempat hunian, kendaraan-kendaraan,
fasilitas-fasilitas umum maupun khusus, serta perusakan
bangunan-bangunan, semua itu merupakan tindakan kriminal. Islam
berlepas diri dari tindakan semacam itu.
Demikian juga setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat-pun berlepas diri dari tindakan seperti itu. Tindakan-tindakan
tersebut tidak lain hanyalah tindakan orang yang mempunyai pemikiran
menyimpang dan aqidah sesat. Dia sendirilah yang memikul dosa dan
kejahatannya. Tindakannya itu tidak bisa dibebankan kepada Islam dan
tidak pula kepada kaum muslimin yang berpegang pada petunjuk Islam,
berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah dan berpegang teguh pada tali
Allah yang kokoh.
Tindakan-tindakan tersebut murni merupakan perusakan dan kejahatan.
Syari’at serta fitrah menolaknya. Oleh karenanyalah, nash-nash syari’at
telah datang untuk mengharamkannya dan memperingatkan agar tidak
mempergauli para pelaku tindakan demikian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ.
وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ
الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ . وَإِذَا قِيلَ
لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِاْلأِثْمِ فَحَسْبُهُ
جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia
menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi
hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia
berpaling (dari kamu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanaman dan binatang ternak. Dan Allah
tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya:
“Bertaqwalah kepada Allah!”, bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka
Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang
seburuk-buruknya. [Al Baqarah:204-206].
(Intinya) kewajiban seluruh kaum muslimin –di manapun mereka berada-
ialah saling ingat-mengingatkan dalam hal kebenaran, saling menasihati,
saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, amar ma’ruf
nahi munkar– dengan cara hikmah (bijaksana) serta nasihat yang baik,
dan memberikan bantahan dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى
اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan
ketaqwaan, dan jangan tolong-menolonglah dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaNya. [Al Ma’idah:2].
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ
أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa dan Maha Bijaksana. [At Taubah:71].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal
shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan
nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ (ثلاثا). ِقْيلَ : لِمَنْ يارسولَ اللهِ ؟ قَالَ
: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat” (Rasulullah mengatakannya tiga kali).
Ditanyakan oleh sahabat: “Bagi siapa, wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab,”Bagi Allah, bagi kitabNya, bagi RasulNya, bagi para pemimpin
umat Islam dan bagi umumnya umat Islam.” [HR Muslim dari Tamim Ad Dari.
Imam Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq dalam kitab Shahih-nya,
tanpa menyebutkan sahabat].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى
لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ والحُمَّى
Perumpamaan kaum mukminin dalam (hubungan) saling cinta, saling
kasih sayang dan saling lemah lembutnya, ibarat satu tubuh, apabila
salah satu anggauta tubuh mengeluh karena sakit, maka seluruh anggauta
tubuh lainnya akan ikut tidak bisa tidur dan merasa demam. [Muttafaq
‘alaih, dari An Nu’man bin Basyir].
(Demikianlah), ayat-ayat serta hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak.
Akhirnya, kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala –dengan
nama-namaNya yang husna dan dengan sifat-sifatNya yang mulia- agar Dia
mencegah seluruh kaum muslimin dari kesengsaraan.
Kami memohon agar Allah l memberikan taufiq kepada seluruh pemegang
kendali kekuasaan kaum muslimin untuk melakukan apa yang baik bagi umat
dan negara, serta melakukan pemberantasan terhadap segala kerusakan
serta para perusaknya.
Kami memohon agar Allah memenangkan agamaNya dan meninggikan
kalimatNya melalui para pemegang kendali kekuasaan itu. Juga agar Allah
memperbaiki keadaan seluruh umat Islam di manapun mereka berada, serta
memenangkan kebenaran melalui mereka. Sesungguhnya Allah adalah Pemilik
semua itu dan Maha Kuasa untuk melakukannya. Semoga Allah senantiasa
mencurahkan shalawat serta salamNya kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Sebab banyak di antara persoalan itu yang bagi sebagian orang
hanya persoalan “mana suka”. Jika sesuai dengan hawa nafsu, disebar
luaskan. Dan jika tidak sesuai, disembunyikan dan ditimbun. Fatwa-fatwa
ulama yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka akan dikatakan
bahwa ulama yang berfatwa itu tidak mengerti (bodoh terhadap) realitas,
situasi dan kondisi, atau dikatakan bahwa ulama itu terkontaminasi
dengan pemikiran Murji’ah. Demi Allah, ini merupakan bencana besar
[2]. Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa ilmiah dari Hai’ah
Kibar Al Ulama yang paling akhir di bawah kepemimpinan Syaikh Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah. Penjelasan (fatwa) ini dikeluarkan kurang
dari sembilan bulan sebelum wafat beliau. Dan penjelasan ini dimuat di
majalah Al Buhuts Al Islamiyah, Edisi 56 Safar 1420 H, langsung setelah
wafat beliau
[3]. Tentang penjelasan lembaga ini, saya (Syaikh Ali Hasan) telah
memberikan catatan dan penjelasan pada sebuah risalah tersendiri yang
saya beri judul “Kalimatun Sawa’ Fi An Nushrati Wa Ats Tsana’i ‘Ala
Bayan Hai’ah Kibar Al Ulama, Wa Fatwa Al Lajnah Da’imah Lil Ifta’ Fi
Naqdhi Ghuluwwi At Takfir Wa Dzammi Dhalalati Al Irja’. Risalah ini
sedang dicetak, alhamdulillah. Di dalamnya digabungkan pula Fatwa
Lajnah Da’imah tentang celaan terhadap firqah Murji’ah dan faham
Murji’ah.
[4]. Wafatnya guru kami, Syaikh Al Imam Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah ialah pada tanggal 27/1/1420 H
[5]. Sesungguhnya, kufur terbagai menjadi dua. Kufur asghar (kecil),
tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur akbar (besar),
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kufur akbar ini ada beberapa macam,
yaitu: menghalalkan (terhadap perkara yang jelas haramnya, Red.),
penolakan, pengingkaran, pendustaan (menolak untuk percaya), munafik,
dan ragu-ragu (terhadap kebenaran yang sudah jelas, Red.). Dalam hal
ini ada beberapa sebab yang dapat menjerumuskan ke dalam kufur akbar
itu. Yaitu sebab-sebab yang berupa perkataan, perbuatan dan keyakinan.
[6]. Pada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
XIV/118 terdapat penjelasan tentang syarat-syarat itu. Beliau
rahimahullah , berkaitan dengan hukum orang yang berbicara tentang
kekafiran, telah mengatakan: “Adapun bila orang tersebut: (1)
mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) dengan
senang hati (tidak terpaksa) dan (3) sengaja dalam mengucapkan apa yang
dikatakannya; maka inilah yang perkataannya terhitung ……” (maksudnya,
pengkafiran terhadap orang itu dapat dianggap). Saya (Syaikh Ali Hasan)
berkata,”Sebagai kebalikannya adalah penghalang-penghalangnya.”
[7]. Jadi kegembiraan yang luar biasa itulah yang menjadi sebab
adanya penghalang yang menghalangi hukum kafir terhadapnya, yaitu :
ketidak sengajaan. Maksudnya, ia tidak bermaksud melakukan kekafiran.
Perhatikanlah ini hendaknya. Jika tidak, sesungguhnya orang yang
sengaja –dan tanpa ada unsur paksaan- mengucapkan perkataan sejenis
yang dapat menyebabkan kekafiran –yaitu yang sama sekali berlawanan
dengan keimanan dari segala sisi-, baik secara ucapan maupun secara
perbuatan, misalnya : mencaci Allah atau RasulNya Shallallahu 'alaihi
wa sallam atau yang semisalnya, maka orang ini kafir, keluar dari
agama. Murtad.
[8]. Yaitu para penguasa muslim –semoga Allah memperbaiki negara dan
hamba Allah- melalui tangan mereka. Tentang dalil yang dijadikan hujjah
oleh orang-orang yang menyimpang untuk mengkafirkan para penguasa
secara total, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. [Al Ma’idah:44].
Maka tidak ada jawaban mencakup yang lebih indah daripada perkataan
Imam Ahmad rahimahullah. (Beliau berkata): “ (Maksud ayat itu ialah),
kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Seperti halnya iman,
sebagiannya lebih rendah dari sebagian yang lain (bertingkat-tingkat,
Red), demikian pula kufur. Sampai akhirnya datang suatu bukti yang
tidak diperselisihkan lagi di dalamnya”. (Termuat dalam) Majmu’ Fatawa
Syaikhul Islam VII/254.
Dikutip dari Dokumen JIB. Posted by Salmin Mar'ie Alkatiri
Dikutip dari Dokumen JIB. Posted by Salmin Mar'ie Alkatiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar