BID’AH-BID’AH SEPUTAR QIRA’AH (BACAAN AL-QUR’AN)
BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA
1. Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan
hukum penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat
dan bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah
dan lurus yang sesuai dengan firman Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا
2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.
3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).
4. Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan
oleh sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan
tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein
di Mesir dengan ditonton oleh orang banyak.
5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.
6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.
7. Membaca cepat seperti halnya syair. (Seperti sholat taraweh yang terjadi seperti sekarang ini-SI)
8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).
9. Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang
berlebih-lebihanan. Dan inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru
yang dibuat-buat saat membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan
pada kedua telinga ketika membaca al-Qur’an. (Ini juga banyak yang
ikut2ana-AHSI)
10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah
sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul
untuk belajar al-Qur’an.
11. Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya
Iblis terhadap banyak ahli qira'ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di
menara masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai
berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain
tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan
riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di
masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya
orang-orang di masjid. Ini uga terajdi bulan Ramadhan-SI.
12. Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap
rokok, atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang
berkumpul mengisap rokok.Lagi juga banyak terjadi.
13. Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz
(nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap
mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini
sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami,
mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk
dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau
wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk
dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum
mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat
fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa,
tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin
oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya
mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah
menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu
memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu
yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang
lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya
pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata:
“Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan
bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya
mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.
14. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu
ayat, di dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara
menbaca seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan
cara-cara bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap
bacaan).
15. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat
tertentu dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil,
seperti:
a. Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke
tujuh bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.
b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada
malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau
shalat Fajar.
c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.
d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.
e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.
f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.
g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah
bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di
luar shalat.
i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam
Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang
disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil-
As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.
16. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau
surah tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat.
Seperti:
a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang
akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang
keras.
c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari
Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.
17. Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca
Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau
dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau
surah. Seperti:
a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang
membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang
ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ
"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" [al-A’raaf: 204]
e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.
18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:
a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam
19. Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di
antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta
di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.
20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.
21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:
a. Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang
ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat
yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan
perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat
dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.
TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’
Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang
membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan
Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan
ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi
bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat
Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka
yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa
perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus
merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.
Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.
Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang
berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai
prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal).
Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu
negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang
imamnya mempunyai "suara yang bagus".
Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah
Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang
dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi,
dan Masjid al-Aqsha".[2]
Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.
Dan saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala,
khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru
dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih
mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang
qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy
kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ
"Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan". [Shaad: 86]
Hendaknya setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan
memperbaiki niat, sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus
suaranya tanpa mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya.
Janganlah mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta
cara baca yang dilarang.
Dan sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk
mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai
keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih
dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat,
serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.
MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN
Yaitu bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan
saat mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin,
pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka
mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan
oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).
MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.
Sungguh pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling
sebagian orang dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan
pribadi imam, yaitu memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai
dengan thema khutbah.
Cara ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan tidak berasal dari pengaalan Salaful-Ummah, sehingga
menjadikan cara tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah.
Begitu pula (jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan
mengamalkan selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara
pengamalan yang dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap
ingin menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna),
meninggalkan yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat
orang-orang awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.
MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH
Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan
sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca
ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau
berkhutbah.
Cara ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga
para ulama yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di
kalangan ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan
mereka menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang
mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun
berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan,
sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode
awal umat ini dan ulama salaf.
[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]
[
Oleh
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana banyak dilakukan di masjid-masjid kaum muslimin di
negeri ini, yang mereka membaca Al-Qur’an lewat pengeras suara masjid
sebagai ganti di menara, ini tentulah lebih mengganggu tidur orang lain
daripada sekedar membaca di menara. Wallahu Musta’an-Red
[2]. Lihat majalah Sunnah edisi 11/Th.IV/1421-2000, hal:52-54-Red]
Komentar AHSI
QS. Al-Ma’idah (5) ayat 104:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ
وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allooh dan mengikuti Rosuul”. Mereka menjawab: “Cukuplah
untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan
apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk ?”
Dikutip dari Dokumen JIB. Posted by Sukpandiar Idris Advokat Assalafy
Dikutip dari Dokumen JIB. Posted by Sukpandiar Idris Advokat Assalafy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar