Salah satu sistem jual-beli yang kini berkembang, yaitu pemberlakuan
uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan. Istilah ini dikenal
dengan DP (Down of Payment), atau uang muka. Biasa pula disebut dengan
istilah "tanda jadi". Bagaimanakah tinjauan syari'at terhadap sistem
panjar ini? Selanjutnya disebut dengan uang muka.
PENGERTIAN UANG MUKA
Panjar (DP) dalam bahasa Arab adalah al 'urbuun (العربون). Kata ini
memiliki padanan kata (sinonim) al urbaan (الأربان), al 'urbaan
(العربان) dan al urbuun [1] (الأربون). Secara bahasa artinya, kata jadi
transaksi dalam jual beli.[2]
Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan
di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi
itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga
pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka menjadi
milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “
Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang muka/ down payment) ini
sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila saya membatalkannya (tidak
jadi membelinya) maka uang ini menjadi milik anda (penjual)” [3]
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan:
Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai
harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu.
Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu
dirham atau lebih dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang
tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal
maka itu milik penjual.[4]
Secara ringkas, sistem jual beli seperti ini dikenal dalam
masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. (istilah jawa
panjer) Wallahu A'lam.
HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan dikalangan para ulama, yang terbagi dalam pendapat:
[1]. Yang berpendapat jual-beli dengan uang muka (panjar) ini tidak
sah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan
Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah.
Al Khathabi mengatakan : Para ulama berselisih pendapat tentang
bolehnya jual beli ini, Malik, Syafi'I menyatakan ketidaksahannya,
karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad (rusak) dan
Al-gharar (spekulasi)[6], Juga, jual-beli seperti ini termasuk dalam
kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga
Ash-habul Ra'yu (madzhab Abu Hanifah, -pen) menilainya tidak sah” [7]
Ibnu Qudamah mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik,
As-Syafi'i dan Ash-hab Ra'yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
Al Hasan Al Bashri [8]
Yang menjadi argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini.
[a]. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ
الْعُرْبَانِ قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ فِيمَا نَرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ
أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ ثُمَّ
يَقُولُ أُعْطِيكَ دِينَارًا عَلَى أَنِّي إِنْ تَرَكْتُ السِّلْعَةَ أَوْ
الْكِرَاءَ فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual
beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik berkata : “Dan inilah adalah
yang kita lihat –wallahu A'lam- seorang membeli budak atau menyewa
hewan kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar
dengan ketentuan apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau
tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi
milikmu” [9]
[b]. Jenis jual beli dengan uang muka, termasuk dalam kategori
memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan oleh si
penjual tanpa ada kompensasinya [10]. Adapun memakan harta orang lain,
hukumnya haram sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ [An
Nisaa' : 29]
[c]. Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua
syarat batil: syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat
memberikan uang panjar. Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi
dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. [11]
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui
(khiyaar al-majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang
tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila
dikatakan: Saya mempunyai hak memilih. (Terserah) kapan saya ingin
mengembalikan dengan tanpa dikembalikan uang pembayarannya” [12].
Menurut Ibnu Qudamah, demikian ini menunjukkan Qiyas (analogi) [13].
Pendapat ini dirajihkan As-Syaukani sebagaimana pernyataan beliau :
“Yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama, karena dalam hadits 'Amru
bin Syu'aib terdapat beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan.
Juga karena dalam jual-beli seperti ini terdapat larangan, dan hadits
yang mengandung larangan lebih rajih dari yang menunjukkan bolehnya,
sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh. Yang menjadi illat (sebab
hukum) larangan ini ialah, jual-beli seperti ini mengandung dua syarat
yang fasid. Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang
muka) secara gratis apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat
mengembalikan barang kepada penjual apabila si pembeli tidak ada
keinginan untuk membelinya.[14]
[2]. Pendapat Yang Menyatakan Jual Beli Dengan Uang Muka
Diperbolehkan. Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan
bolehnya jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa'id bin Al Musayyib dan
Muhammad bin Sirin.[15]
Al Khathabi mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.
Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan
menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini
pendapat Umar Radhiyallahu ‘anhu yaitu bolehanya jual-beli dengan uang
muka. Ahmad juga melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual-beli
yang seperti ini, disebabkan terputus. [16]
Argumentasi pendapat yang membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini.
[a]. Atsar yang berbunyi:
عَنْ نَفِعِ بْنِ الحارث, أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ
مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ, فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ , وَ إِلاَّ فَلَهُ
كَذَا وَ كَذَا
Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan sebuah
bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan
ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak
mendapatkan uang sekian dan sekian.
Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: "Apakah Anda
berpendapat demikian?" Beliau menjawab: "Apa yang harus kukatakan? Ini
Umar Radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)” [17]
[b]. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak dapat
dijadikan sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem uang muak
ini.
[c]. Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang
menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia
tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Dengan
demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa uang
muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.
[d]. Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan al-khiyar al
majhul (hak pilih terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat
dibolehkannya uang muka ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan
dibatasinya waktu pembayaran, batal analogi tersebut, dan hilangnya
sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya : Bagaimana
hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (al-urbun) apabila belum
sempurna jual belinya?. Bentuknya yaitu, dua orang melakukan transaksi
jual beli, Apabila jual beli sempurna maka pembeli melunasi nilai
pembayarannya dan bila pembeli batal melakukan pembelian, maka si
penjual mengambil DP (uang muka) tersebut dan tidak mengembalikannya
kepada pembeli?
Pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah
sebagai berikut : Tidak mengapa mengambil DP (uang muka) tersebut,
menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila penjual
dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan
(tidak disempurnakan)” [18]
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Komite Tetap Untuk
Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arania, menyebutkan dalam
fatwanya sebagai berikut.
[1]. Fatwa no. 9388
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka ('Urbuun)
dari pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan
pembeliannya, apakah secara hukum syari'at si penjual berhak mengambil
uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si
pembeli?
Jawaban: Apabila keadaannya demikian, maka dibolehkan bagi si
penjual untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak
mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila
keduanya telah sepakat untuk itu.[19]
[2]. Fatwa no. 1963:
Pertanyaan : Al 'Urbuun sudah dikenal dengan (penyebutan) uang muka
sedikit, yang diserahkan pada waktu membeli berfungsi sebagai tanda
jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa
hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta
urbuun (uang mukar) ketika pelunasan pembayaran gagal, bagaimana
hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP ('urbuun) diperbolehkan. Jual-beli ini
dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya)
sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang tersebut setelah
selesai transaksi, sebagai jaminan barang. Ini dilakukan agar selain
pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli
tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian
pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil
uang muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli dengan uang muka ('urbuun) ini sah, baik telah menentukan
batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan secara
syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi pembayaran
setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.
Dibolehkannya jual beli 'urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin
Al Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli seperti ini boleh.
dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya. Sa'id bin
Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila ia
tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya
sejumlah harta.”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan
uang muka), ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), Imam Ahmad dan
selainnya telah mendhaifkannya, sehingga (hadits ini) tidak bisa
dijadikan sandaran. [20]
Majlis Fikih Islam, dalam seminar ke-8 berkesimpulan dibolehkannya
jual beli dengan uang muka. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang telah
disepakati.
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka adalah,
menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual
dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang tersebut, maka uang
muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau si
pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka sejumlah uang (muka yang
dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini selain
berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa
berarti membeli fasilitas.
Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem uang muka
adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran
atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli as-salm) atau serah
terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan
dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang
mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada
fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu menunggunya
dibatasi secara pasti, Uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian
pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si
pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[21]
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut
kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, maka itu lebih
baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana Rasululloh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang
muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli sesuatu
dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena
menegtahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak
mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada
penjual dan si penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu
dari pembeli).[22]
Demikian permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007 karya
Ustadz Kholid Syamhudi. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Diambil dari catatan penulis dari penjelasan Syaikh DR.
Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Authar di
Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam
Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum. As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu'aib berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma'alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni 6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya
(no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192.
lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai
dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud
no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif
Al Jami' Al Shoghir 6060
[10]. Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12]. IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni 6/331
[16]. Ma'alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud (3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni (6/331)
[18]. Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud, hal.291, dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[19]. Fatawa Lajnah Daimah (13/132) yang ditanda tangani oleh Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah bin Ghadayan
[20]. Ibid. (13/133-134)
[21]. Ketetapan no. 72, Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma
La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan
Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan dengan judul Fiqih
Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah, hal. 134
[22]. Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)
Komentar Abu Hada
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.
(QS. An Nisaa’ 4:29). Dan tentu saja suka sama suka di sini tidak bertentang dengan Quran dan asunnah (SI).
Dikutip dari Dokumen JIB.
Dikutip dari Dokumen JIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar