Hadits-hadits Dhaif dan Palsu Berkaitan dengan Ibadah Haji
1. Keutamaan berhaji
الْحَاجُّ يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِئَةِ أَهْلِ بَيْتٍ -أَوْ قَالَ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ-
“Orang yang berhaji akan memberi syafaat kepada 400 orang ahlu bait –atau Nabi mengatakan: 400 orang dari ahlu bait (keluarga)nya–.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar,
diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no.
5091)
حُجُّوا تَسْتَغْنُوْا…
“Berhajilah kalian niscaya kalian akan merasa berkecukupan.…” (Al-Imam Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/83. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3480)
“Berhajilah kalian, karena sesungguhnya haji itu mencuci dosa-dosa sebagaimana air mencuci kotoran.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu),
diriwayatkan oleh Abul Hajjaj Yusuf bin Khalil dalam As-Saba’iyyat,
1/18/1. Lihat Ad-Dha’ifah no. 542)
حَجَّةٌ لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ، وَغَزْوَةٌ لِمَنْ حَجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ حُجَجٍ…
“(Menunaikan ibadah) haji bagi orang yang belum berhaji itu
lebih baik daripada sepuluh peperangan. Dan (ikut serta dalam)
peperangan bagi orang yang telah berhaji itu lebih baik daripada
sepuluh haji….” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits
ini dhaif, diriwayatkan oleh Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, 27/117/1.
Lihat Adh-Dha’ifah no. 1230)
إِذَا لَقِيْتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ،
وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ،
فَإِنَّهُ مَغْفُوْرٌ لَهُ
“Apabila engkau bertemu dengan seorang haji, ucapkanlah salam
padanya dan jabatlah tangannya, serta mohonlah padanya agar memintakan
ampun bagimu sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, karena orang yang
berhaji itu telah diampuni.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ahmad, 2/69 dan 128,
Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin, 2/265, Abusy Syaikh dalam At-Tarikh,
hal. 177. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2411)
مَنْ مَاتَ فِي هذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ، لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ يُحَاسَبْ، وَقِيْلَ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Siapa yang meninggal dalam sisi ini, baik ia berhaji atau
berumrah, niscaya amalnya tidak dipaparkan kepadanya dan tidak akan
dihisab. Dan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga.’”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar,
diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, 288. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2187)
الْحَاجُّ فِي ضَمَانِ اللهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا، فَإِنْ
أَصَابَهُ فِي سَفَرِهِ تَعْبٌ أَوْ نَصَبٌ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِذلِكَ
سَيِّئَاتِهِ، وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ قَدَمٍ يَرْفَعُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ،
وَبِكُلِّ قَطْرَةٍ تُصِيْبُهُ مِنْ مَطَرٍ أَجْرُ شَهِيْدٍ
“Orang yang berhaji itu dalam tanggungan/jaminan Allah Subhanahu
wa ta’ala etika datang maupun pulangnya. Bila dia tertimpa kepayahan
atau sakit dalam safarnya, Allah akan mengampuni
kesalahan-kesalahannya. Dan setiap telapak kaki yang ia angkat untuk
melangkah, ia dapatkan seribu derajat. Dan setiap tetesan hujan yang
menimpanya, ia dapatkan pahala orang yang mati syahid.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh
Ad-Dailami, 2/98. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3500)
خَيْرُ مَا يَمُوْتُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ قَافِلاً مِنْ حَجٍّ أَوْ مُفْطِرًا مِنْ رَمَضَانَ
“Sebaik-baik keadaan meninggalnya seorang hamba adalah ia
meninggal dalam keadaan pulang dari menunaikan ibadah haji atau dalam
keadaan berbuka dari puasa Ramadhan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami 2/114. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3583)
2. Keutamaan berhaji yang disertai menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ حَجَّ حَجَّةَ اْلإِسْلاَمِ، وَزَارَ قَبْرِي وَغَزَا
غَزْوَةً وَصَلَّى عَلَيَّ فِي الْمَقْدِسِ، لَمْ يَسْأَلْهُ اللهُ
فِيْمَا افْتَرَضَ عَلَيْهِ
“Siapa yang berhaji dengan haji Islam yang wajib, menziarahi
kuburku, berperang dengan satu peperangan dan bershalawat atasku di
Al-Maqdis, maka Allah tidak akan menanyainya dalam apa yang Allah
wajibkan kepadanya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini maudhu’/palsu, disebutkan oleh As-Sakhawi dalam Al-Qaulul
Badi’, hal. 102. Lihat Adh-Dha’ifah no. 204)2
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي، كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa yang berhaji, lalu ia menziarahi kuburku setelah wafatku, maka dia seperti orang yang menziarahiku ketika hidupku.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’,
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3/203/2, dan
Al-Ausath, 1/126/2. Diriawayatkan pula oleh yang selainnya. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 47)3
3. Haji dilaksanakan sebelum menikah
الْحَجُّ قَبْلَ التَّزَوُّجِ
“Haji itu dilaksanakan sebelum menikah.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, dibawakan oleh As-Suyuthi
dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir. Lihat Adh-Dha’ifah no. 221)
مَنْ تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ بِالْمَعْصِيَةِ
“Siapa yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia telah memulai dengan maksiat.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, 20/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 222)
4. Banyak berhaji mencegah kefakiran
كَثْرَةُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ
“Banyak melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Al-Muhamili. Lihat Adh-Dha’ifah no. 477)
5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji
لاَ يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ، أَوْ
غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ
النَّارِ بَحْرًا
“Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau
berumrah atau orang yang berperang di jalan Allah, karena di bawah
lautan itu ada api dan di bawah api ada lautan.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh
Abu Dawud, 1/389, Al-Khathib dalam At-Talkhis, 78/1. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 478)
6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha
مَنْ أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، أَوْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang ber-ihlal4 haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke
Masjidil Haram, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang
akan datang, atau diwajibkan surga baginya.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud,
1/275, Ibnu Majah, 2/234-235, Ad-Daraquthni, hal. 289, Al-Baihaqi,
5/30, dan Ahmad, 6/299. Lihat Adh-Dha’ifah no. 211)
7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka sungguh ia telah berbuat jafa` (kasar) kepadaku.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian
dikatakan Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh
Ash-Shaghani dalam Al-Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula
Az-Zarkasyi dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits
Al-Maudhu’ah, hal. 42. Lihat Adh-Dha’ifah no. 45)
8. Keutamaan menghajikan orang tua
مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ اللهُ
لَهُ عِتْقًا مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ
حَجَّةِ تَامَّةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang menghajikan kedua orang tuanya setelah keduanya
wafat maka Allah akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan
bagi yang dihajikan akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa
mengurangi pahala orang yang menghajikan sedikitpun.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh
Abul Qasim Al-Ashbahani dalam At-Targhib. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5677)
إِذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ
وَمِنْهُمَا، وَاسْتُبْشِرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ
عِنْدَ اللهِ بَرًّا
“Apabila seseorang menghajikan kedua orang tuanya maka akan
diterima amalan itu darinya dan dari kedua orang tuanya, dan diberi
kabar gembira ruh keduanya di langit dan ia (si anak) dicatat di sisi
Allah sebagai anak yang berbakti (berbuat baik kepada orang tua).”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif,
diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam, As-Sunan, 272, Ibnu Syahin dalam
At-Targhib, 299/1 dan Abu Bakr Al-Azdi Al-Mushili dalam Hadits-nya.
Lihat Adh-Dha’ifah no. 1434)
9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki
إِنَّ لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا
رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ
يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ
“Sesungguhnya orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan
70 kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya.
Sementara orang yang berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap
langkah yang ia langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 3/15/2, dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah,
204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5
10. Keutamaan thawaf
مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari
dosa-dosanya sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh
ibunya (bersih dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan
selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5102)
طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً
“Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di dalamnya sebanding dengan membebaskan budak.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif jiddan
(lemah sekali), diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf,
5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035)
11. Hari Arafah
عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ
“Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif,
diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93,
Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami 2/292. Lihat Ad-Dha’ifah no. 3863)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun
yang ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya
Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika membacanya benar-benar menenangkan hati
kami (karena tepat dan telitinya penghukuman beliau terhadap hadits,
pen.).”
2 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits ini maudhu’,
tampak sekali kebatilannya) karena membuat anggapan telah diwahyukan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang
disebutkan dalam hadits berupa haji, ziarah kubur, dan berperang, bisa
menggugurkan pelakunya dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam
meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini merupakan
kesesatan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amat jauh
dari mengucapkan perkataan yang menimbulkan anggapan yang salah.
Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara jelas menunjukkan kesesatan?!” (Adh-Dha’ifah, 1/370)
3 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah Al-Jalilah (hal. 57) berkata: “Hadits-hadits
tentang ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya
dhaif. Tidak ada satupun yang bisa dijadikan sandaran dalam agama ini.
Karena itu, ahlu Shihah dan Sunan (ulama yang menyusun kitab Shahih dan
Sunan) tidak ada yang meriwayatkannya sedikit pun. Yang meriwayatkan
hadits-hadits semacam itu hanyalah ulama yang biasa membawakan
hadits-hadits dhaif seperti Ad-Daraquthni, Al-Bazzar, dan selain
keduanya.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas. Setelah itu beliau berkata: “Hadits
ini kedustaannya jelas sekali. Hadits ini menyelisihi agama kaum
muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika hidupnya dan beriman kepada beliau, berarti orang itu
termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila orang itu termasuk
orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad bersama beliau. Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian
menginfakkan emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai
satu mud infak salah seorang mereka, dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang yang hidup setelah shahabat, tidaklah bisa sama dengan
shahabat hanya dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang
diperintahkan seperti haji, jihad, shalat lima waktu, bershalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan amalan
yang tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin (yaitu menziarahi
kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Tidak pula disyariatkan
untuk safar (menempuh perjalanan jauh) untuk mengerjakannya, bahkan
dilarang. Adapun safar menuju ke masjid beliau guna mengerjakan shalat
di dalamnya maka hal itu mustahab (disenangi).” (Lihat Adh-Dha’ifah, 1/123-124)
4 Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
5 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits
ini dianggap shahih, sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana
telah shahih riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandainya
berhaji dengan jalan kaki itu lebih afdhal, niscaya Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan memilih hal itu untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena itulah, jumhur ulama berpendapat bahwa haji dengan
berkendaraan itu lebih utama, sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi
rahimahullah dalam Syarh Muslim.” (Adh-Dha’ifah, 1/711-712)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari , Judul: Hadits-hadits Dhaif Tentang Haji
HUKUM MEYAMPAIKAN DAN MENGAMALKANNYA
Suatu hadits dikatakan dhaif apabila hadits tersebut sanadnya
terputus atau ada cacat/cela pada perawinya, seperti: berbuat dusta,
tersangka dusta (baik sangkaan itu dalam bidang meriwayatkan hadits
atau lainnya), sering melakukan kesalahan, sering keliru, sering
lengah, sering melakukan perbuatan maksiat, salah sangka, bertentangan
dengan perawi yang lain yang lebih baik, jelek hafalannya, dll.
Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan
hadits dhaif dalam bidang hukum/menentukan hukum sesuatu. Tetapi mereka
berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang:
-
Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)
Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar. -
At-Targhiib (Memotivasi)
Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga. -
At-Tarhiib (Menakuti)
Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan. - Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
-
Do’a Dan Dzikir
Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm
dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan
hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha
‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat
oleh beliau, dan supaya orang tidak mengi’tiqatkan sunnahnya sesuatu
yang sebenarnya tidak dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau belum tentu dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang membawa akibat kita diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam masuk ke dalam neraka karena berdusta atas nama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
# “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia
tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan
pendusta.” (HR. Muslim)
# “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh
menyebutkan suatu hadits dhaif melainkan ia wajib menerangkan
kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54)
dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]
Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para
fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul
a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib,
yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu).
Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan
untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan
amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih,
setidak-tidaknya hadits hasan.
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu
Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang
targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:
- Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
- Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.
- Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang kedua dan ketiga tersebut di atas sangat ditekankan
dan ditegaskan oleh Ibnu Salam, sedangkan syarat yang pertama disetujui
oleh semua ulama.
Imam Ahmad berkata: “Hadits dhaif itu lebih baik dari qiyas.” Yang
dimaksud oleh Imam Ahmad dengan hadits dhaif tersebut adalah hadits
yang setingkat dengan hadits hasan, karena pada masa Imam Ahmad belum
ada pembagian hadits menjadi tiga kelompok, yaitu shahih, hasan dan
dhaif. Yang ada baru pembagian hadits atas dua kelompok, yaitu shahih
dan dhaif saja.
Pembagian hadits dari dua kelompok saja (hadits shahih dan hadits
dhaif) menjadi tiga kelompok (hadits shahih, hadits hasan dan hadits
dhaif) dilakukan oleh Imam At-Tirmidzi dan kemudian diikuti oleh
ulama-ulama berikutnya, dimana hadits dhaif yang tidak seberapa
kelemahannya dikelompokkan sebagai hadits hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar